5 Maret 2021 | Catur Octowibowo S.Psi | 14
Di masa pandemik ini, ada berbagai emosi yang dirasakan oleh orangtua. Banyak perubahan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan. Beberapa orangtua “dipaksa” untuk terus berusaha beradaptasi dengan situasi saat ini. Pembagian mendidik anak yang sebelumnya terlihat dapat dibagikan bersama dengan pihak sekolah dan gereja, sekarang mungkin lebih dirasakan oleh sebagian orangtua sebagai pekerjaan utama diri mereka. Perubahan-perubahan yang bisa diamati adalah beberapa orangtua mungkin menerima pemutusan hubungan kerja dari tempat kerja mereka atau orangtua yang mencoba untuk mengajarkan beberapa pelajaran bagi anak-anak mereka, terutama untuk anak-anak yang masih berusia muda.
Situasi-situasi saat ini menimbulkan emosi yang berkecamuk. Ada rasa sedih, kesal, marah, takut, cemas, depresi, dan sebagainya. Mungkin kita juga berpikir kepada diri sendiri, apakah ada yang salah dari kita? Charles R mengatakan bahwa “Life is 10% what happens to you and 90% how you react to it”. Bila kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, “Hidup adalah 10 % apa yang terjadi pada kita, dan 90 ?gaimana kita bereaksi terhadapnya.”
Apa yang sebenarnya menyebabkan orangtua menjadi dikuasai oleh emosi-emosi yang belum bisa disalurkan dengan baik pada saat ini dapat disebabkan oleh perubahan. Perubahan adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup. Kita mengalami perubahan sejak kita lahir hingga saat ini.
Tentunya, kita mungkin merasa kan perasaan bingung, tidak nyaman, khawatir, cemas, takut, kesal, marah, bosan. Namun, banyak faktor seperti pengalaman hidup, genetik, sosialisasi lingkungan, dan kepribadian yang mempengaruhi cara kita berhadapan dengan perubahan. Kita dapat mengibaratkan bahwa kita semua dapat saja menghadapi badai yang sama, namun bisa jadi cara kita memandang dan menginterpretasikan badai itu berbeda-beda.
Emosi adalah cara otak dan tubuh kita memberikan informasi tentang apa yang kita rasakan ketika berada di sebuah situasi. Pengendalian dan manajemen emosi merupakan keterampilan hidup yang sangat penting. Karena itu, ada baiknya ketika kita belajar manajemen emosi dengan lebih baik. Lantas, bagaimanakah mengatur dan mengelola emosi kita dengan baik?
Mari kita mendalami terlebih dahulu, apakah ada emosi yang baik atau buruk? Kita cenderung lebih mudah mendengar emosi emosi positif seperti senang, antusias, bahagia atau yang lainnya. Lantas emosi negatif seperti sedih, kecewa, atau marah apakah merupakan hal yang buruk?
Ternyata tidak loh, parents. Faktanya bersifat natural/alami yang diberikan Tuhan. Emosi positif dan negatif keduanya diperlukan oleh setiap manusia. Bayangkan saja jika kita tidak pernah menangis? Atau tertawa pada saat pergi kerumah duka Semua emosi tidak ada yang buruk, sifatnya natural, netral, serta pasti terdapat fungsi dan tujuannya.
Sama halnya seperti stress. Manusia memerlukan kondisi stress yang optimal untuk mendorong pribadi tersebut mengeluarkan hasil yang maksimal. Namun, diperhatikan bahwa tingkat stress seseorang tidak boleh terlalu rendah dan terlalu tinggi agar dapat menghasilkan kondisi yang optimal. Stress membantu kita untuk waspada dan pada akhirnya mencari usaha-usaha untuk mengatasi sumber stress yang menganggu kita. Perlu disoroti adalah kondisi stress orangtua dapat memengaruhi stress yang dialami seorang anak, oleh karena itu kita perlu mencari cara meregulasi emosi dengan tepat.
Martin Seligman dalam bukunya “The Optimistic Child” menggambarkan 3 pertanyaan mendasar ketika seseorang mengalami stress?
Emosi dapat kita ibaratkan seperti air di dalam selang, jika selang tersumbat air tidak daat dipancarkan, dan akhirnya akan meledak.
Emosi harus harus dikeluarkan cara yang tepat/ diekpresikan, waktu yang tepat, dan pada orang yang tepat.
Kami memiliki beberapa tips yang kami harap dapat membantu Bapak/Ibu:
Terdapat istilah Upstair Brain dan Downstairs Brain.
“Upstairs is the command control center. It takes time to attend, interpret, problem solve, and to respond the situation. Downstairs brain is the area we receive impulse signal, both feelings an thought.”
Si “Leader/ Upstair Brain”? Logic, impulse, control, reasoning
Si “Limbo/Downstair”? Fear, fight, flight, freeze, anger
Leader & limbo idealnya harus bisa berjalan bersama-sama dan harus seimbang.
Tidak ada yang boleh terlalu dominan.
Lantas hal apa yang dapat kita lakukan agar keduanya dapat berjalan dengan baik?
Sangat penting untuk mengembangkan fungsi prefrontal cortex (Leader Brain)? melatih focus dan problem solving
Saat kita bicara positif pada orang lain dan diri kita sendiri, membuat leader brain kuat, bisa mengontrol semosi dan pilihan positif.
Walaupun mungkin ruang gerak kita terbatas secara fisik dikarenakan oleh pandemi, hal ini tidak perlu menyebabkan kita berdiam diri. Kita masih dapat menggerakan tubuh agar kita bisa meregulasi emosi kita. Kita bisa berjalan di dalam rumah, membersihkan rumah, berjalan di sekitar kompleks, dan berolahraga di rumah.
Bila kita sedang merasa sedih, kita juga disarankan untuk tidak mengurung diri atau mendengar lagu yang sedih yang dapat membuat mood kita semakin down
Terdapat cara untuk mengubah energi yaitu 3-S:
Mendengarkan suara alam dapat menenangkan si limbo dan menguatkan si leader.
Jika kalian memiliki kesempatan untuk bisa mengunjungi alam terbuka dan pantai. Kita juga dapat melakukan biking, walking, ingat sinar matahari penting untuk membuat kita lebih happier.
Jika kita melihat sebuah permasalahan dengan positif contohnya “Okay, saya memang tidak sedang dirumah, namun saya sudah mempersipakan semuanya sejak kemarin dan sudah mengajari asisten rumah tangga di rumah untuk mendampingi anak anak hari ini. Semua akan baik baik saja.”
Maka hal tersebut menstimulasi the leader dan the leader ini akan mengirim informasi kepada limbo.
Terdapat hubungan antara makanan dan mood. Makanan apa yang dikonsumsi akan mempengaruhi emosi kita seperti sayur dan buah. Makanan yang mengadung kandungan gula dan garam yang tinggi dapat membuat kita merasa kurang sehat dan mudah marah.
Kebiasaan tidur kita sangat berhubungan dengan kemampuan regulasi emosi kita. Jika kita kurang tidur atau memiliki kebiasaan tidur yang tidak sehat, kita cenderung kurang focus. Kita bisa fokus untuk meregulasi emosi jika memiliki kapasitas untuk berpikir dengan rasional.
“If you want happiness for an hour, take a nap, if you want happiness for a day, go fishing. If you want happiness for a year, inherit a fortune. If you want happiness for a lifetime, help somebody.
Membantu orang lain dapat membuat kita juga merasa bahagia karena kita bisa melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain.
Semoga kita senantiasa menyadari pentingnya untuk kita terus belajar meregulasi emosi. Karena kesehatan kita dan keluarga itu penting.
Tuhan memberkati.